“Mas, ada titipan dari kampung. Kalau sempat, nanti diambil ya”
Sebuah pesan singkat sukses mendarat di hape saya. Tak biasanya saya mendapat kiriman atau titipan dari keluarga di desa. Selama ini komunikasi saya dan keluarga biasanya lewat handphone. Dulu…sebelum hape merajalela seperti sekarang ini…untuk sekedar mengabarkan salah seorang anggota keluarga yang meriang atau batuk pilek saja, keluarga dirumah musti datang ke wartel yang jaraknya lumayan jauh di kota kecamatan. Atau sesekali lewat surat, hanya untuk menanyakan, “Piye kabare? Nek ora krasan ning Jakarta…mulih wae yo”
Kini, teknologi sudah menyentuh sendi-sendi interaksi manusia. Betapa mudahnya dan sering bagi saya menelepon keluarga dikampung hanya untuk sekedar iseng menanyakan, “mbok, masak apa hari ini?” Atau, “kambing kita berapa?” Dan aneka pertanyaan tak penting dan remeh lainnya.
Hmm…ada apa gerangan? Namun, apapun bentuk kiriman, titipan atau paketnya sungguh telah membuat saya bertanya-tanya dan mengundang penasaran.
Singkat kata dan pada akhirnya…kiriman itu sudah ada dirumah saya. Tepat di hadapan saya. Sejurus saya tertegun. Sekarung beras. Kemudian beras itu saya letakkan begitu saja. Posisinya yang visionable seakan membuatnya menjadi point of view. Dari sudut manapun. Saat hendak ke dapur ataupun keruang depan saya pasti melewati sekarung beras itu. Sampai disini perasaan saya masih biasa saja. Yah, saya pikir, toh hanya beras. Tidak lebih.
Hingga pada suatu malam…
Saya duduk di sofa ruang tamu. Menikmati kopi. Sudah menjadi kebiasaan, anak dan istri saya sudah tertidur selepas Isya’. Jadi saya ngopi hanya sendiri saja.
Menikmati kopi sembari ngudud adalah wajib. Menikmati kopi tanpa permainan penerawangan hati dan pikiran adalah mustahil buat saya. Alhasil pikiran saya mengembara menembus dimensi ruang dan waktu. Sesekali pikiran mengajak saya kembali ke masa masa kecil di kampung. Masa kecil yang sebagian saya habiskan dengan makan nasi jagung dan rebung. Tak lama pikiran mengundang saya mengenang teman teman sekolah dulu. Teman sekolah dulu ada yang sekarang menjadi anggota Polri, bahkan hampir pernah menilang saya di daerah Kebayoran Lama. Teman sekolah yang beberapa diantaranya bahkan sudah meninggalkan dunia ini. Helaan nafas saya seperti hendak menyimpulkan, aah…sudahlah. 😦 Betapa cepatnya waktu berlalu.
Hingga tanpa sengaja mata saya bersirobok, seakan seperti beradu pandang dengan sekarung beras itu (lagi). Saya memandangnya lebih dalam. Lebih dalam lagi. Mendadak seperti ada sesuatu perasaan bergolak di hati saya. Antara kesedihan dan keharuan lebur menjadi satu dan sukses mengaduk aduk perasaan saya. Saya masih bisa merasakan (dan dipaksa untuk merasakan kembali) bahwa untuk mendapatkan sekarung beras itu, melewati proses yang tidak mudah dan melelahkan. Dan pengembaraan pikiran saya mulai berganti.
Dulu…kemiskinan kami memang menyedihkan. Sawah yang di garap hanyalah sawah garapan dengan durasi yang bisa saja berubah sewaktu-waktu oleh sang pemilik. Sawah garapan yang oleh orang tua dikelola dengan cucuran keringat seperti tak kenal lelah. Sawah garapan yang memaksa kami seakan seperti hendak pindah rumah, karena sawah garapan itu berada di kampung sebelah. Pagi buta bapak dan ibu saya sudah berangkat dan pulang selepas Magrib. Melewati jalan setapak menembus luas dan lebatnya belukar perbukitan hutan jati. Menjumpai kawanan babi hutan atau menjangan liar adalah hal biasa.
Musim kemarau adalah keadaan terberat buat kami. Saat sumber air menipis dengan sawah yang harus tetap terairi adalah perjuangan penuh uji nyali. Sumber irigasi utama yang mengairi sawah kami dan juga yang lain berada tepat di tengah-tengah pekuburan kampung setempat. Itupun kadang sawah kami tak kebagian air secara penuh. Kami kalah cepat dengan petani setempat. Malam hari adalah saat yang memungkinkan agar sawah kami tidak kekeringan. Tak jarang kami pun menginap di sawah dengan gubuk seadanya.
Ah, kemiskinan kami memang kelam. Kemiskinan kami bagi yang melihatnya seharusnya melahirkan empati. Tapi siapa yang peduli? Sebagian besar penghuni kampung didera persoalan yang nyaris sama. Kadarnya saja yang berbeda. Empati yang terpaksa dikelola secara tersembunyi karena terbentur kondisi. Kemiskinan yang anehnya kami sendiri begitu menikmati. Kemiskinan malah membuat kami bisa merasakan makan singkong rebus bisa menjadi senikmat kentaki. Kemiskinan membuat kami merasa tidak susah untuk berbagi. Berbagi apa saja, karena itulah energi dari kemiskinan kami. Berbagi materi dalam kemiskinan kami adalah mustahil. Berbagi tegur sapa, salam dan suasana damai itulah yang kami bisa. Kemiskinan membuat kami terbiasa berkeringat lebih deras. Kemiskinan membuat kami senantiasa terjaga untuk tetap memastikan nyala api perjuangan tidak padam. Kemiskinan kami memang menyedihkan, tapi tidak hina. Kami bahkan merasa tidak kalah hormat dalam kemiskinan jika dibanding dengan para pejabat pengemplang uang rakyat!
Tanpa saya sadari mata saya berkaca kaca. Terlebih sekarang ini, simbok berjuang hanya ditemani adik perempuan saya. Kurang lebih sewindu yang silam bapak pergi meninggalkan kami untuk selama-lamanya. 😦
Saya masih menatap sekarung beras itu. Mencoba mengurai adakah pesan pesan yang mungkin bisa saya rangkaikan.
Seharusnya saya merasa tersinggung. Betapa saya sekarang masih dianggap sebagai penghuni desa tertinggal. Bahkan untuk menyambung hidup di Jakarta ini saya perlu dikirimi beras dari kampung. Ah, tidak! Saya tak bisa tersinggung begitu saja. Jangan! Karena itu berarti bibit kesombongan mulai tumbuh di hati saya. Susah payah saya menetralisir perasaan.
Syukurlah, ternyata saya berada disudut pandang yang keliru. Saya hanya sedikit merubah sudut pandang saja dan perlahan kegaiban perasaan itu saya rasakan. Sekarung beras itu seperti mengisyaratkan selaksa kasih yang tak berujung. Kasih seorang ibu yang tak lapuk oleh jarak waktu. Kasih yang hanya memberi tak berharap menanti. Betapa saya masihlah seorang anak dari ibu yang melahirkan saya. Mendadak saya merasa bersalah. Berkali kali saya mengabaikan telepon dari kampung dengan alasan sibuk dan keesokan harinya saya terlupa untuk menelpon balik. Sekarung beras itu seperti hendak menegaskan bahwa bagaimanapun keadaannya, kasih ibu itu nyata dan tak tergantikan. Perlahan saya peluk sekarung beras itu dengan perasaan mengharu biru.
Bahwa dalam setiap butir padi adalah perwujudan penuh harap dari tetesan keringat dan do’a, lengkap dengan atribut kemiskinan yang melekat. Sekarung beras itu juga seperti hendak menafsirkan bahwa tak mudah mewujudkan harapan. Hanya keyakinan teguh dan perjuangan ekstra keras penuh integritas yang bisa menghadirkannya menjadi nyata. Perjuangan penuh determinasi dan tahan uji.
———————————————-
Saya masih memeluk sekarung beras itu, hingga pada akhirnya saya menyadari, bahwa sekarung beras itu sarat makna.